My Story
Hidayah tak Terduga
Oleh
: Fitri Handayani Nasution
Part
1
Siang
itu cuaca mendung dibarengi semilir angin yang merusuk ke sukma. Badan pun
turut menggigil dibantai gerimis-gerimis kecil yang mulai membasahi halaman
rumah. Hari berlalu dengan cepat kala itu, baru saja hujan deras mengguyur
dedaunan pekarangan rumah sudah tiba saja pelangi yang indah memesona mata.
Langit mulai merunduk dibawa hari yang kian senja. Langit kuning mulai menyapa
menyambut gelap sunyinya malam.
Malam
itu sudah kesekian kali mencoba meminta pada ayah “ Ayah.. kalau aku punya
cita-cita yang tinggi boleh yaa? “ dengan nada memohon aku bertanya pada ayah.
Ayah kala itu seolah memejamkan mata menikmati angin sisa hujan tadi siang.
Angin menyibak badan ayah seolah menghapus pertanyaan aku malam itu. Ya, ayah sudah tau sekali ujung dari pertanyaan
itu.
Lagi-lagi
aku memohon pada ayah “ Ayah.. kalau kakak kuliah boleh gak?’’ dengan nada
kesal ayah menjawab pertanyaan tak berlogika itu anggapnya, “ ah!! Sudah
kesekian kali kau tanyakan itu, lagi dan lagi. Sudah kutebak saja apa yang akan
keluar dari mulutmu”
Kali
ini ayah benar-benar marah sepertinya. Langsung saja semilir angin yang
menyibak badannya seolah berubah menjadi teriknya panas, meski matahari tak
muncul saat itu. Aku terdiam terpaku masa itu, derai air mulai muncul dari
kelopak mata ini. Bulir air yang sudah kutahan-tahan sejak tadi akhirnya
menunjukkan jati dirinya. Ia keluar bersama sesak yang tidak tertahankan di
jiwa. Ya, salah memang berbicara hal yang tak logis begitu.
Di saat keluarga saja begitu sulit memenuhi
kebutuhan makan. Di saat si bungsu sudah sibuk ingin dibelikan susu formula
baru, adik kedua juga sudah memaksa ingin dibelikan tas dan sepatu baru. Aku
dengan sibuknya memaksa ayah untuk memenuhi tuntutanku.
Saat itu sudah hampir dua tahun ia belum
mengganti sepatu usangnya. Maklum saja ia berjalan kaki ketika pulang sekolah
melewati kerikil rel kereta api setiap harinya.
Ya, pesimisme mulai menghantui pikiranku. “
Sudahlah.. kau ini memang tak memikirkan perasaan ayah!! Berhenti memohon” . Mulai saja menyalahkan diri saat itu.
Seolah cuaca yang dingin berubah menjadi panas dibakar rasa kecewa yang
mendalam. Air yang keluar dari kelopak mata tak henti-hentinya mengalir,
menandakan masih tersisa rasa kecewa mendengar ujaran ayah saat itu.
Kaki
mulai melangkah menuju kamar berdinding papan, sudah mulai terlihat
lubang-lubang kecil di pinggiran papan yang menjadi dinding kamar. Hingga
dinginnya malam menembus batas dinding. Kuhempaskan badan ini ke sebuah kasur,
rengkuhan badan seolah badan sedang lelah ketika itu. Derai air kembali
membasahi pipiku sambil teriang pembicaraan tadi dengan ayah. “ Ya Allah..
Bagaimana takdirku nanti telah Kau atur semuanya. Setiap langkahku hamba
berharap Ridho-Mu ya Rabb.. Jikalau saja takdirku tertulis bahwa esok aku akan
melanjutkan studiku, tentu tak akan ku sia-siakan begitu saja. Namun, jika saja
takdir itu berkata tidak, tentu aku juga tak mampu memaksa kehendak itu.
Kehendak yang mungkin saja membuat ayah semakin lelah bekerja untuk memenuhi
kebutuhanku”.. Tanpa sadar dinginnya malam membuat mata begitu mudah memejam.
Berlanjut
J
kuliah yg bener, jgan ikut2 yg lain (yg tdk baik). jdikan pendidikan ladang jihad utk fitri dan org tua😘
BalasHapus